1.
DUA KECAMATAN DI BOYOLALI RAWAN KASUS PUTUS
SEKOLAH
(from : http://www.sapa.or.id , Sumber : Solopos (By. Zakaria Korda SAPA Kota
Surakarta, Kab Boyolali))
Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Boyolali
menyebut Kecamatan Ampel dan Kecamatan Juwangi sebagai daerah rawan putus
sekolah. Kondisi itu disebut-sebut dilatarbelakangi permasalahan ekonomi. Hal
itu sebagaimana diungkapkan Kepala Disdikpora Boyolali, Sutojoyo. Dia
belum menyebut berapa angka putus sekolah di daerah tersebut. Namun dari
beberapa kajian, Sutojoyo memastikan kondisi itu disebabkan faktor ekonomi warga."Kami
pantau kasus itu dari berapa banyak yang ikut kejar paket. Tak banyak,
sebagaimana kejar paket C ada 18 orang yang lima di antarnya tak masuk hadir
saat ujian nasional tanpa keterangan. Yang tak terjaring (kejar paket)? Tetap
kami upayakan, tapi berapa ya kami tak hafal," ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Badan Pusat Statistik Boyolali, Sri Ariyanto
menjelaskan tak banyak terjadi perubahan data mengenai tingkat pendidikan warga
Boyolali. Seperti yang disampaikannya kepada Espos, akhir 2012 lalu, 30 persen
warga Boyolali merupakan lulusan SD. Dari sejumlah temuan, terdapat
sejumlah lulusan SD yang tak melanjutkan sekolah ke jenjang selanjutnya
lantaran terkendala biaya. Hal itu sebagaimana ditemui di Repaking, Kecamatan
Wonosegoro. Ironisnya, sejumlah anak di sana harus bekerja membantu orang tua
untuk memenuhi kebutuhan pokok, makan.
"Tak ada biaya. Saya lulus SD, adik saya masih SD. Tapi saya
tak melanjutkan sekolah, tak ada biaya," ungkap salah satu anak dari Desa
Repaking, Dewi Andriyani. Dia dan dua adik perempuannya bekerja mencari
lidi untuk dijual ibunya di pasar dalam bentuk sapu. Selain itu, mereka
menyempatkan waktu meminta uang kepada pelintas jalan dengan alasan sebagai
tambahan biaya untuk mencukupi kebutuhan membeli beras.
Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
Universitas Boyolali, Bramastia menilai pemerintah kurang turun ke lapangan
untuk menemukan kasus semacam itu. "Ini menjadi bukti, pemerintah kurang
melihat kondisi riil. Secara normatif, Pemda Boyolali wajib mencari solusi dan
masalah daerah rawan putus sekolah mestinya menjadi program prioritas,"
tukasnya.
2. TIAP MENIT, EMPAT ANAK INDONESIA PUTUS SEKOLAH
( from : http://www.citizenjurnalism.com )
Berdasarkan laporan Education for All Global Monitoring Report
yang dirilis UNESCO 2011, tingginya angka putus sekolah menyebabkan peringkat
indeks pembangunan rendah. “Indonesia berada di peringkat 69 dari 127 negara
dalam Education Development Index,” ungkap Sekretaris Jenderal Yayasan Cinta
Anak Bangsa (YCAB), dr Iskandar Irwan Hukom, di sela-sela penyerahan bantuan
sebesar Rp 383,5 juta lebih di rumah belajar YCAB Duri Kepa.
Sementara, laporan Departeman Pendidikan dan Kebudayaan, setiap
menit ada empat anak yang putus sekolah. Bahkan pada tahun 2010 usia sekolah
yakni 7-15 tahun yang terancam putus sekolah sebanyak 1,3 juta. “Anak harus
mempunyai hak bersekolah, ada potensi. Kita harapkan YCAB 2015 bisa menjangkau
5 juta anak-anak bisa sekolah, sekaligus menjadi inspirator mengikuti langkah
kita,” ungkap Iskandar.
3. STATISTIK ANGKA PUTUS SEKOLAH D.I. YOGYAKARTA 2012
(ftom : http://yogyakarta.bps.go.id )
Angka putus sekolah mencerminkan jumlah penduduk usia sekolah yang
sudah tidak bersekolah lagi atau tidak menamatkan pendidikan pada jenjang
tertentu. Pada tahun ajaran 2011/2012, jumlah murid yang putus sekolah di DIY
mencapai 1.149 siswa, terdiri dari 985 siswa dari sekolah yang berada di bawah
naungan Diknas dan 164 siswa dari sekolah yang berada di bawah naungan non
Diknas. Jumlah tersebut turun sekitar 19 persen dibandingkan dengan tahun
sebelumnya yang mencapai 1425 orang siswa. Penyebab putus sekolah sangat
beragam dan tergantung dari jenjang sekolah. Beberapa diantaranya adalah
rendahnya kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan orang tua, kondisi
sosial ekonomi keluarga, keterbatasan serta kesulitan dalam mengakses
infrastruktur pendidikan.
Berdasarkan distribusinya, jumlah anak putus sekolah terbanyak
terdapat pada jenjang SLTA sederajat yakni sebanyak 61,44 persen dengan rincian
SLTA sebanyak 146 anak, SMK 477 anak dan MA 83 anak. Sementara, jumlah anak
putus sekolah pada jenjang SLTP sederajat dan SD sederajad masing-masing
mencapai 20,97 persen dan 17,58 persen. Masih besarnya porsi anak putus sekolah
pada jenjang SLTP ke bawah harus menjadi perhatian serius, karena hal ini
menjadi kontraproduktif dengan kebijakan wajib belajar sembilan tahun.
Persoalan biaya seharusnya tidak lagi menjadi penyebab utama dalam kasus anak
putus sekolah.
4. ANGKA PUTUS SEKOLAH DAN KOMERSIALISASI PENDIDIKAN
JAKARTA, KOMPAS.com – Anggota Komisi X
DPR RI Raihan Iskandar mengungkapkan, pemerintah perlu melakukan evaluasi
kritis terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan nasional
yang berjalan selama tahun 2011. Menurutnya, berbagai data statistik
menyebutkan, capaian kinerja pemerintah di bidang pendidikan tak menunjukkan
hasil yang signifikan.
Ia menyoroti, hal yang seharusnya menjadi perhatian utama adalah
masih tingginya angka putus sekolah. Mengutip data, kata Raihan, terdapat
10,268 juta siswa usia wajib belajar (SD dan SMP) yang tidak menyelesaikan
wajib belajar sembilan tahun. Di sisi lain, masih ada sekitar 3,8 juta siswa
yang tidak dapat melanjutkan ke tingkat SMA. Kemiskinan menjadi sebab utama
angka putus sekolah dan tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya karena
tingginya biaya pendidikan Menurutnya, faktor utama penyebab tingginya angka
putus sekolah adalah ketidakmampuan masyarakat memenuhi biaya pendidikan.
“Kemiskinan menjadi sebab utama angka putus sekolah dan tidak melanjutkan
ke jenjang berikutnya,” kata Raihan kepada Kompas.com, pekan lalu,
di Jakarta.
Masih tingginya angka putus sekolah dan siswa yang tidak
melanjutkan pendidikan, dinilainya, cermin masih terbatasnya akses pendidikan
yang bisa dijangkau masyarakat. Padahal, kata dia, dari tahun ke tahun,
anggaran pendidikan nasional telah mengalami kenaikan signifikan. Pada tahun
2010, APBN untuk sektor pendidikan mencapai Rp 225 triliun, dan pada tahun 2011
meningkat menjadi Rp 249 triliun. Untuk tahun 2012 mendatang, APBN pendidikan
kembali mengalami peningkatan hingga mencapai Rp 286 triliun. Dana Bantuan
Operasional (BOS) sebagai instrumen penopang rogram wajib belajar sembilan tahun
juga meningkat dari tahun 2011 sebesar Rp 16 triliun, menjadi Rp 23 triliun
untuk tahun 2012.
“Selain tidak tepat waktu, sasaran, dan penggunaan, nyatanya BOS
tidak bisa mencegah praktek pungutan yang marak terjadi. Kenaikan anggaran
pendidikan yang signifikan ternyata tak berbanding lurus dengan upaya
penghentian siswa putus sekolah,” papar Raihan. Akan
tetapi, tingginya alokasi APBN dalam sektor pendidikan, dinilainya menjadi
ironis karena berbagai kebijakan pemerintah, menurut Raihan, justru turut
berkontribusi terhadap tertutupnya akses pendidikan yang terjangkau dan
Pemerintah terkesan membiarkan berbagai komersialisasi dan pungutan yang marak
terjadi. Ia mencontohkan, salah satunya kebijakan mengenai rintisan sekolah
berstandar internasional (RSBI).
“RSBI hanya kebijakan asesoris yang berpotensi menghambat
penuntasan program wajib belajar sembilan tahun, menghambat siswa miskin atas
layanan pendidikan yang bermutu dan terjangkau. RSBI hanya sarana seleksi
status sosial,” ujarnya.
Jaminan melanjutkan pendidikan
Ditemui terpisah, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh
mengungkapkan, pada tahun 2012 mendatang, kementeriannya telah mempersiapkan
sejumlah langkah untuk meminimalisir angka putus sekolah. Ia
mengungkapkan, pada tahun 2010 dana BOS hanya meng-cover 70 persen
biaya pendidikan. Hasilnya, sebesar 1,5 persen siswa SD drop out,
dan yang tidak melanjutkan 8,87 persen dari 31 juta siswa. Untuk SMP, sebesar
1,61 persen drop out, dan 21,13 persen tidak melanjutkan. Sementara
SMA, sebesar 2,86 persen drop out dan 33,11 persen tidak
melanjutkan pendidikan.
Salah satu yang dilakukan untuk menekan angka putus sekolah dan
tidak melanjutkan pendidikan, kata Nuh, adalah menuntaskan program wajib
belajar sembilan tahun, menuju wajib belajar 12 tahun. Mungkinkah? "Agar
tidak putus sekolah dan melanjutkan ke SMP, maka harus kita jamin mereka bisa
melanjutkan ke SMP, SMA, dan seterusnya. Cara menyelesaikannya? Tahun 2012 BOS
kita naikkan. Perkiraan kita, jumlah siswa DO (drop out) dan tidak
melanjutkan akan menurun secara signifikan," papar Nuh. Pada tahun
2012, pemerintah juga akan menjalankan rintisan dana BOS untuk SMA. Dengan
demikian, harapannya, pada tahun 2013 program wajib belajar 12 tahun sudah bisa
dilaksanakan.
0 komentar:
Posting Komentar